Wednesday, October 24, 2012

Masyarakat Pulau Pisang


Masyarakat Pulau Pisang

Ditinggal bukanTertinggal



Matahari mulai sepenggal naik. Pagi itu, Selasa (15/5) Perahu kecil tidak bermesin atau lazim disebut Jukung milik penduduk Pekon (kampung) Pasar mulai berdatangan satu persatu. Menepi menuju pelabuhan tidak berbeton. Pelabuhan tidak bernama namun begitu berarti bagi sekitar lima ratus masyarakat Pekon Pasar Pulau Pisang Kabupaten Lampung Barat dalam menggantungkan hidupnya.

Dari kejauhan perahu biru milik seorang nelayan berbadan gemuk mulai menepi. Susah payah lelaki tengah baya dengan topi usang berwarna putih itu mengayuh dayung. Melawan besarnya deburan ombak selat Pulau Pisang setinggi tiga meter. Dari seberang pelabuhan Pekon Pasar, empat orang nelayan lain yang menunggu di pelabuhan mulai mendekat kebibir pantai. Menanti kedatangan jukung lelaki itu. Setelah hampir menepi, nelayan tersebut membantu menepikan jukung dengan mengangkatnya ke pinggiran pantai.

Pagi itu, nasib tidak berpihak pada Lukman Hakim (50). Setelah hampir 10 jam di tengah Samudera Hindia, mengail senar, mengulurkan mata pancing di kedalaman Samudera ikan besar tidak juga menyambar umpan ikan kecil yang dipasangnya. Ikan Marlin atau sering disebut masyarakat ini sebagai Iwa Tukhu memang menjadi incaran besar para nelayan. Mata kail Lukman hanya disambar ikan tenggiri kecil berukuran tigapuluh sentimeter, jumlahnya tak lebih dari sepuluh ekor.

Lukman begitu kecewa, begitu pula nelayan yang membantu menarik Jukung Lukman. Mereka berharap mendapat bagian seekor ikan hasil pancingan Lukman pagi itu. Tradisi nelayan masyarakat Pulau Pisang memang selalu membagi ikan kepada nelayan lain yang membantu menarik jukung. Namun, karena Lukman tidak mendapat hasil nelayan yang banyak maka dengan berbesar hati mereka menerima.

Mak dapok ngebagi yu, mansa ne cutik (tidak bisa membagi ya, dapatnya sedikit),” ujar Lukman dengan Bahasa Lampung Pesisir yang memang menjadi bahasa sehari-hari masyarakat di Pulau ini.

Hasil tangkapan Lukman dua ekor dibawa pulang, sisa hasil nelayannya ditimbang kepada penampung. Beratnya tak lebih dari lima kilogram. Hasil nelayannya hanya dibayar limabelas ribu perkilogram. Uang hasil menjual ikan tangkapannya itulah dibawa pulang untuk menghidupi anak dan istrinya.

Berbeda dengan Lukman, Keberuntungan sedang berpihak pada nelayan lain bernama Suntori (40). Suntori berhasil memancing Iwa Tukhu berukuran besar. Beratnya mencapai 45 kilogram. Suntori membawa ikan besar bersayap ungu itu kepenampung. Menjual satu-satu nya ikan yang didapatnya dari tengah Samudera Hindia seharga duapuluh tiga ribu rupiah perkilogram.

Kehidupan masyarakat Pekon Pasar berbeda dengan aktifitas masyarakat Pekon Sukadana Pulau Pisang. Jika hampir 99 persen Masyarakat Pekon Pasar bermatapencaharian sebagai nelayan. Masyarakat Pekon Sukadana hampir keseluruhan adalah petani cengkeh, Petani Kopra, Penenun Kain Tapis dan Benang Emas.

Seperti halnya Nurwasih (55), Perempuan beranak lima ini mulai berbenah siang itu. Dengan modal kantung kresek kecil, ia dan anak bungsunya Zubaidah (15) menuju kebun cengkeh miliknya di atas bukit. Memungut seputik-demi seputik buah cengkeh yang memang sudah jatuh ketanah. Nurwasih memang sengaja tidak memetik buah cengkehnya dari atas pohon, karena memang buah cengkehnya belum siap panen.

Setelah hampir dua jam berlalu, tidak banyak hasil yang didapatnya siang itu, hanya secanting cengkeh basah yang jika dijual seharga lima ribu rupiah. Agar hasilnya banyak Nurwasih tidak menjual cengkehnya. Ia, akan mengumpulkan dulu butir cengkehnya kemudian menjemur cengkehnya hingga kering selama empat hari. Jika sudah kering baru dijual seharga seratus ribu perkilogram.

Berbeda dengan Masyarakat lainnya, Puti (50) tengah sibuk membelah buah kelapa. Membuang air didalamnya kemudian menjemur kelapa tersebut sampai menjadi kopra. Puti merupakan salah satu dari sekitar duapuluh persen masyarakat pulau pisang yang bekerja sebagai petani kopra. Buah kelapa yang diambil dari hasil kebunnya ini kemudian di jemur selama lebih kurang empat hari dan dijual seharga 28 ribu rupiah perkilogram.

Ibu empat anak ini sebelum bertani kopra, dahulunya merupakan petani cengkeh yang memang banyak berada di kawasan ini. Selain bertani cengkeh Puti acap kali menerima upahan menyulam tapis. “Dahulunya menyulam tapis, tapi sekarang sudah berhenti. Mata sudah tidak melihat lagi,”kenang Puti. “Senang rasanya hidup dipulau ini meskipun sekarang mulai sepi, tapi rasa kekeluargaannya masih melekat erat,” ujar Puti.

Peratin Pekon Sukadana Rizal (50) mengatakan, kehidupan masyarakat pulau pisang sangat tentram. Hal tersebut yang membuat ia memutuskan untuk tetap tinggal dipulau pisang. “Meskipun saat ini warga banyak yang merantau, namun saya tetap menunggu pulau ini mungkin samapi akhir hayat saya,”tutur Rizal.

Rizal juga mengatakan, ,masyarakat pulau pisang hanya membutuhka pelabuhan dan transportasi darat. “Kami pernah meminta pemerintah membangun jembatan yang dapat menghubungkan pulau pisang dengan desa Tembakak

Rizal mengungkapkan Pulau Pisang bukan daerah tertinggal, tapi daerah yang ditinggalkan. Masyarakat hidup maju disini namun sulit jika sedang angin barat karena tidak bias keluar dari pulau. “Masyarakat Pulau Pisang banyak yang berhasil seperti Dekan Fakultas Ekonomi Unila, ia berasal dari pulau pisang, dan masih banyak pejabat lain yang ada di Lampung,” ujarnya.


Sejarah, Menguatkan keberadaannya

Pulau Pisang merupakan pulau yang berada di tengah-tengah Samudera Hindia dan masuk dalam Kecamatan Pesisir Utara Kabupaten Lampung Barat. Untuk menuju pulau ini, diperlukan waktu sekitar satu jam dari penyebrangan Pelabuhan Koala dikota Krui Lampung Barat. Jukung yang digunakan sebagai transportasi penyebranganpun hanya berlayar diwaktu tertentu saja. Namun, jika ingin cepat masyarakat biasanya menggunakan jalur penyebrangan dari desa Tembakak. Jarak dari desa Tembakak menuju Pulau Pisang hanya lima belas menit menggunakan jukung bermesin.

Pulau Pisang merupakan pulau yang memiliki sejarah peradaban yang kuat. Adat istiadat Marga Way Sindi Olok Pandan sangat kental terasa. Rumah-rumah tinggi berdinding kayu yang lazim disebut lamban balak menjadi pemandangan paling menarik ketika berada di pulau pisang. Meskipun keadaannya mulai rapuh karena banyak yang tidak bepenghuni sebab ditinggal sang pemilik ketika tahun 1980 akibat matinya cengkeh-cengkeh milik mereka, menjadi saksi bisu bagaimana masyarakat di Pulau ini menganut Marga Lampung yang kental.

Masyarakat Way Sindi yang tinggal di Olok Pandan berjarak sekitar enam kilometer dari Desa Tembakak atau tujuh kilometer dari kota Krui. Hj. Zafrullah Khan Gelar Suntan Simbangan Ratu mengisahkan asal kata Way Sindi berarti pinggir air. Bermula ketika abad ke-17 masyarakat Way Sindi semakin banyak dan menuntut perluasan daerah. Akhirnya Saibatin atau pemuka adat Way Sindi Pangeran Simbangan Ratu mengutus seorang warga asal Biha yang biasa disebut Bathor atau pesuruh untuk melihat keadaan Pulau yang ada diseberang Desa Way Sindi layak tidak jika di tempati oleh masyarakat Way Sindi.

Atas titah Saibatin tersebut berangkatlah Bathor menuju pulau dengan menggunakan batang pisang yang memang banyak terdapat didaerah itu. Setelah sampai dipulau dan bermalam beberapa hari kembali lah Bathor menuju Way Sindi untuk melapor kepada Saibatin Bahwa Pulau tersebut bisa ditempati masyarakat.

Kemudian anak kedua Pangeran Sangun Ratu atas titah sang ayah Mail Gelar Raja Pesirah gelar Pangeran Sangun Ratu mengajak seluruh Masyarakat Way Sindi untuk berlayar menuju pulau dan mencari penghidupan dipulau tersebut. Pada saat itu masyarakat hanya menempati gubuk besar yang lazim disebut Sapu Balak. Masyarakat mulai bercocok tanam cengkeh dan kopra sedangkan makan hanya dapat memakan buah pisang hutan yang memang banyak tumbuh dipulau tersebut. Mulailah warga menyebut daerah tersebut dengan sebutan Pulau Pisang.

Pada abad ke-18 masyarakat membentuk sebuah Pekon pertama yaitu pekon Lok, kemudian menyusul kelima pekon lainnya yaitu Labuhan, Bandar Dalam, Sukadana, Sukamarga dan Pekon Pasar. Pada tahun17 September 1922 akhirnya pemuka adat memutuskan bahwa Marga Way Sindi merupakan Marga resmi masyarakat kelima Pekon Pulau Pisang dengan sebutan Way Sindi Olok Pandan kecuali Pekon Pasar yang memang bukan berasal dari keturunan Way Sindi.

Pada Tahun 1933, berlangsunglah pertemuan besar pemuka adat Way Sindi Olok Pandan yang menetapkan Muhammad Fadel Gelar Raja Kapitan menjadi Saibatin pertama marga Way Sindi Olok Pandan di Pulau Pisang.

Saat itu masyarakat Way Sindi Olok Pandan hidup makmur, cengkeh dan hasil kopra yang melimpah membuat masyarakat pulau pisang pada tahun 1968 menjadi daerah dengan pendapatan perkapita paling tinggi di Lampung. Namu sayang, ketika sedang jaya-jayanya. Seluruh tanaman cengkeh tiba-tiba mati kerena daun-daunnya terkena penyakit. “saat itu perekonomian sulit sekali, akhirnya banyak warga yang memutuskan untuk merantau,”kenang lelaki tiga anak ini.

“Muhammad Fadel gelar Kapitan itu adalah ayah saya, saat ini saya menjadi Saibatin Marga Way Sindi Olok Pandan,”ujar lelaki 72 tahun ini ketika ditemui di kediamannya di daerah Palapa Bandarlampung, Senin (29/05).

“Meskipun saya sudah tidak tinggal di Pulau Pisang, namun estetika sejarah tempat lahir saya masih melekat dihati. Peradaban marga kami justru yang membuat kami mempertahankan kampung halaman kami disana dengan menanam cengkeh kembali,”ujarnya.


Tenun Tapis dan Benang emas tak lekang tergerus zaman
Sore itu, matahari senja mulai terbenam. Anak-anak kecil berumur lima sampai sepuluh tahun tengah asik berlari-lari dipinggiran pantai berbuih dan berpasir putih bersih. Bermain-main bersama deburan ombak sambil melompat-lompat kegirangan menghalau hempasan ombak. Tidak jauh dari situ, para nelayan masyarakat Pekon Pasar mulai berdatangan menuju pelabuhan. Membawa hasil laut setelah berjam-jam berlayar ditengah samudera.
Selain pantainya yang indah, serta aktifitas nelayan yang menarik. Sulam Tapis dan benang emas menjadi identitas tersendiri masyarakat pulau pisang. Kain Tapis mulai resmi digunakan oleh masyarakat pualu pisang sejak abad-19. Sejak itu kain tapis menjadi kain resmi yang harus digunakan masyarakat pulau pisang dalam berbagai prosesi adat lampung. Prosesi ighau pada tahun 1835 menjadi prosesi adat resmi yang mengukuhkan tapis sebagai ciri khas masyarakat pulau pisang.
Senja itu Riswen (40) Wanita berambut pendek dengan gaya sedikit tomboy mulai mengisi waktu senja hari dengan menenun Tapis. Kali ini Riswen sedang mengerjakan upah menenun kain tapis motif Latap. Motif ini merupakan jenis kain tapis dengan tenunan penuh. Sudah dua bulan Riswen mengerjakan sulaman tapis milik tetangganya ini.
Ditengah-tengah waktu senggangnya, Riswen selalu menyempatkan memasang Remidang yang terbuat dari kayu dan bambu untuk merenggang kain agar dapat diikat kencang,  menjahit kain perca pada bahan dasar tapis Sanguwos dan merekatkannya di ujung-ujung bambu menggunakan tali plastik agar kuat. Setelah kain kencang Riswen mulai membentuk pola sesak mutagh dengan pensil agar mudah di tenun.
Setelah pola jadi, Riswen mulai menenun. Merangkai benang emas dan benang jahit hingga mmembentuk pola yang indah. “Butuh waktu sekitar duabulan yang paling cepat untuk pengerjaan tapis motif Latap. Upah menenunnya saja satu juta limaratus, itu diluar bahan-bahan,” ujar wanita bermata sipit ini.
Riswen mengaku sudah sejak kecil fasih menenun tapis. Ketika duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama ia mulai menerima upahan menenun tapis. “Dahulu upahnya hanya tigaratus ribu, sekarang minimal satu juta,”ungkap wanita beranak empat ini.
Begitupula dengan Suharjo (31) lelaki berbadan kurus ini selain menjadi guru honor di SD Pulau Pisang juga tengah sibuk mengerjakan upahan menenun kain tapis. Dibawah temaramnya lampu listrik yang mengalir dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya yang memang hanya ada di pulau ini, jari-jemarinya tetap gapah menjahit benang emas. Suharjo memang terkenal rapih dalam menenun kain tapis. Meskipun laki-laki ia paling sering mendapat upahan menenun dari kota.
Suharjo sudah tertarik menenun sejak ia masih berumur sembilan tahun. Ia sangat senang melihat kakak wanitanya menenun kain tapis. Ketika itu ia mulai memperhatikan kakaknya menenun dan mulai mencoba menenun. Saat ini ia mulai fasih mengerjakan berbagai macam bentuk tenunan tapis, dari mulai motif tusuk pinggir, rumpun bambu hingga motif tumpal penuh yang biasa digunakan oleh pengantin adat lampung.
“Saya kuliah biayanya dari menyulam tapis, hingga sekarang lulus Diploma 3 Jurusan Bahasa Inggris,”ujar Suharjo.
“Saya tidak pernah merasa malu menyulam tapis, meskipun laki-laki selagi halal dan bisa menghasilkan uang kenapa tidak,”ujar lelaki yang memiliki seorang istri dan anak yang baru berumur tiga tahun ini.
Selain tapis, yang menjadi ciri khas dari masyarakat pulau pisang adalah Sulam Benang Emas. Hampir seluruh masyarakat pulau pisang mahir menyulam Benang Emas, menjahit kain Beludru dengan Sulaman Benang Emas menjadi kelambu, Khangok atau tutup pintu dan macam-macam hiasan singgasana pengantin.
Seperti yang sedang dikerjakan Sriyani (29). Wanita ini tengah sibuk menyulam kain Beludru sebagai khangok pesanan seorang warga. Sriyani sudah pandai menyulam sejak ia masih sekolah dasar.
“Biasanya diupah pergulungan benang, setiap gulung benang yang habis dibayar sembilan ribu rupiah,”ujarnya.
Proses pengerjaannya hampir sama dengan tapis yang membedakan hanyalah jenis benang emas yang digunakan. Biasanya benang emas yang digunakan untuk menenun benang emas lebih tebal. “Polanya beragam, dari pola daun, batang, bunga hingga binatang,”ujar wanita cantik ini.
“Untuk tutup pintu saja, saya mengerjakan sekitar lima belas hari dan diupah seharga tigaratus ribu rupiah,” ungkapnya dengan bahasa lampung pesisir.
“Kain Tapis dan sulam benang emas menjadi identitas resmi masyarakat pulau pisang, kami memiliki motif dan model jahitan tertentu yang menjadi ciri khas kuat masyarakat pulau,”ujar Sriyani.
...............
Masyarakat Pulau Pisang kini mulai menikmati kembali kejayaan dari hasil bumi berupa cengkeh dan kopra. Musim panen yang akan tiba dua bulan lagi, menjadi harapan besar masyarakat pulau ini untuk merubah nasibnya. Pesona pulau pisang pun mulai dilirik oleh wisatawan mancanegara. Pantai yang bersih dengan ombak setinggi 3-7 meter menjadi daya tarik tersendiri para wisatawan mancanegara. Selain itu, Eksotisme lumba-lumba pula menjadi buruan hangat para wisatawan.
Salah satu masyarakat pulau pisang Suharjo (50) mengatakan senang jika pulau pisang menjadi salah satu tempat referensi pariwisata di Lampung “Kami senang banyak wisatawan yang datang, apalagi jika mereka menyewa jukung untuk berburu lumba-lumba. Sekali sewa kami dibayar tiga ratus ribu rupiah,” ujarnya.
Suharjo mengharapkan pemerintah memperhatikan fasilitas yang tersedia di pulau ini. “Jika ingin dijadikan tempat wisata, fasilitas harus benar-benar diperbaiki.”ungkapnya. *

Dr. Hj. Bainah Sari Dewi, S.Hut, M.P.


Dr. Hj. Bainah Sari Dewi, S.Hut, M.P.

Pengabdian, dengan kelas bahasa jepang

 
Sore itu sekitar pukul empat. Ruang berukuran 5x2 meter telah riuh oleh belasan mahasiswa yang sibuk menghapal buku Minanonihonggo. Sebagian lagi tampak berbincang dengan bahasa jepang. Sensei (guru.red) sibuk mendengarkan salah satu muridnya Asep (Fkip kimia’2008) menyetorkan hapalan Buku satu chapter 21-22 Minanonihonggo .

Dr. Hj. Bainah Sari Dewi, S.Hut, M.P. merupakan salah satu Doctor of Philosophy in Tokyo University of Agriculture and Technology di Universitas Lampung. Dewi panggilan akrabnya berhasil menyelesaikan study doktornya di jurusan wild life management di University of Agriculture and Technology Jepang atas beasiswa Monbukagakusho tahun 2005-2009. Saat ini Dewi tengah sibuk sebagai staf pengajar jurusan kehutanan di Universitas Lampung dan membuka kelas bahasa Jepang gratis untuk mahasiswa nya di Unila.
Awalnya Dewi bermotivasi membuka kelas bahasa jepang hanya karena menginginkan ada mahasiswanya yang dapat mengikuti pertukaran mahasiswa ke Jepang dengan bahasa jepang yang bagus. “ Saya ingin mahasiswa saya bisa mengikuti program pertukaran pelajar Unila dengan Jepang, tentunya dengan bekal dan bahasa jepang yang baik”. Ungkap wanita kelahiran Lampung Selatan, 12 Oktober 1973 ini.

....................

Dewi Menamatkan Sekolah Menengah Umum (SMU) di SMAN 1 Kalianda Lampung Selatan. Setelah lulus SMU, Dewi menyelesaikan strata satu dan strata dua di Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada tahun 1998 dan 2001. Selama empat tahun di Indonesia, Dewi menjadi staf pengajar pada Jurusan Manajemen Hutan  Fakultas Pertanian Universitas Lampung, tepatnya pada bidang konservasi sumberdaya hutan. Kompetensi inti adalah pada bidang wild life management, Orangutan research, Bear as seed disperser, wild life education for elementary, junior high and senior high school.

Setelah empat tahun mengajar, Dewi terbang ke Jepang untuk mengambil gelar doktornya. Dewi aktif sebagai penulis, dimana tulisan pertamanya tentang Perjalanan Haji Sewaktu Muda, Catatan Harian Seorang Mahasiswi telah diterbitkan pada Juli 2006. Tulisannya berupa scientific paper, artikel, telah diterbitkan dalam jurnal ilmiah, majalah, koran, bertaraf nasional dan mulai berusaha bertaraf internasional. 
“Saya hoby menulis ditengah waktu senggang saya.” Ujar wanita berdarah jawa ini.

Putri ke tujuh dari sepuluh bersaudara Bapak Baharuddin dan Ibu Sunarya ini berpengalaman sebagai lecturer di bidang persatwaliaran. Selain tema itu,  Dewi juga memilki minat menulis dalam tema yang berhubungan dengan motivation, leadership dan keorganisasian. Istri dari Mohamad Dwi Wicaksono, S.Hut dan ibu dari Safira Cahya Fadhilla (15) dan Sakura cahya quranidzikri (1,5) serta putri angkatnya Solehat ini, memiliki hobi baca puisi, makan dan tata ruang.  Selama pendidikan di Jepang aktif dalam berbagai organisasi pelajar dan kemahasiswaan (Humas PPI Jepang 2005-2007), Indonesia Agriculture Scientific Association (Kepala Bidang Kehutanan, 2005-2007), anggota dari Institute Science and Technology Studies (ISTECS), Bendahara sekaligus reseacher pada Indonesia Rural Development Institute Japan (2006-2008) dan masih banyak lagi. 

Dewi hidup dari keluarga sederhana. Dewi dididik dengan penuh kemandirian. Sejak ayahnya meninggal dewi mulai mencari tambahan biaya hidupnya di yogyakarta dengan menjadi Telecommunication Operator UGM Yogyakarta tahun  1992. Kemudian aktif menjadi  penyiar  di Rasia Lima AM Radio Yogyakarta tahun 1993. Mencari beasiswa dari banyak jalur dan menabung untuk impian terbesar nya naik haji ketika usianya masih muda. Berkat kegigihannya tersebut, dewi berhasil naik haji pada usianya yang ke 22 tahun.
Dewi membuka kelas jepang sejak september 2009, saat ini mahasiswa yang mengikuti kelas jepang sudah mencapai jumlah 110 mahasiswa dari berbagai jurusan di Unila. “Saya tidak membatasi dan memaksakan mahasiswa saya belajar. Jika mereka mau pandai bahasa jepang rajin menghapal setorkan hapalannya,” Ujar Dewi.

Awalnya, Dewi mengirimkan Memorandum of  Understanding (MoU) Ke Universitas Tokyo dengan Unila tahun 2008-2013. Salah satunya berisi Pertukaran mahasiswa (student Exchange). Pada awal tahun 2010, Kelas Bahasa Jepang pernah mengirim 30 mahasiswanya untuk mengikuti tes uji kemampuan bahasa jepang yang berstandar internasional nihongo nouryokusiken. Namu gagal. “di tahun 2011, dua belas mahasiswa mengirim lagi formulir aplikasi, yang lulus hanya satu orang Eko Prasetyo.” Ujar Dewi.

Kelas bahasa jepang menerapkan sistem setoran hapalan per-Bab  dan games hapalan huruf hiragana (tulisan bahasa jepang dan mewakili sebutan suku kata) dan katakana ( penulisan kata-kata yang berasal dari serapan bahasa asing). Cara bermain kartu ini menarik. Satu orang bertugas sebagai pengacak kartu, kemudian menyebutkan salah satu penggalan kata, sedangkan peserta bermain melihat di hamparan kartu tulisan bahasa jepang, memilih kartu yang benar dan bebas dari hukuman. Sedangkan yang salah menunjuk kartu, akan mendapatkan poin. Poin-poin tersebut dikumpulkan. Pemilik koin terbanyak akan mendapat hukuman. ”Disela-sela waktu belajar, bisa bermain kartu namanya kaado asobimasou. Yang hapal huruf hiragana pasti menang dan bebas dari hukuman, hukumannya bervariasi, biasanya bagi pemilik poin terbanyak akan makan menggunakan sumpit atau hashi,” Ujar wanita yang sudah bergelar haji sejak usia nya baru beranjak 22 tahun ini.

Selain itu ada yang menarik lagi dari kelas bahasa jepang yang didirikan oleh wanita yang saat ini sedang fokus pada pengabdiannya di ranah kehutanan melalui program Penyuluhan Kelompok Hutan Kemasyarakatan di daerah Gisting Kabupaten Tanggamus. Dewi mengatakan setalah sholat magrib biasanya siswa kelas Jepang makan bersama-sama bergaya seperti di negeri Sakura. “supaya suasana di jepang bisa tercipta, kita bersama-sama makan menggunakan mangkuk berisi nasi namanya donburi. Lauknya diputar kesamping, mengambilnya harus ada aturan. Tidak boleh rebutan. Sebenarnya, meletakkan lauk diatas nasi merupakan cara makan yang tidak tepat. Makan seperti sebenarnya adabnya di anggap tidak sopan di Jepang. Cara makan donburi disebut juga makanan rakyat.” Ungkap Dewi.

Berkat kegigihannya, seorang mahasiswa kelas jepang yang didirikannya Eko Prasetyo  (Kehutanan’08) berhasil lolos dalam seleksi pertukaran pelajar atas beasiswa Mombutsu “Eko berangkat bulan oktober ini”. Ujar Dewi.

...........

Sandy (Mipa Matem’07) mengatakan senang bisa mengikuti kelas bahasa jepang. “saya memang senang dengan bahasa jepang karena hoby menonton film jepang. Awalnya saya belajar otodidak setelah ada kelas bahasa jepang saya belajar. Kelasnya asik, sensei seperti orangtua sendiri” ungkap Sandy.

Tidak jauh berbeda dengan Mirna (T.Kimia’08) mengatakan mengetahui ada kelas jepang ketika sensei memjadi pembicara di seminar yang diadakan di fakultasnya.”Saya ingin belajar bahasa jepang sensei menawarkan kursus bahasa jepang gratis. Sudah sampir setahun saya belajar dengan sensei. Sensei seperti ibu, sahabat dan motivator dalam hidup saya.” Ujar mirna.

Sedangkan dosen pemerintahan, Tabah Maryanah yang kenal dekat dengan Dewi mengatakan dewi merupakan sosok yang gigih dalam mengejar sesuatu. “Dewi memang tomboy, tapi dia semangat jika menginginkan sesuatu.” Ujar Tabah.*

Penghujung Ajang Moccafest


Jum’at, 11 November 2011. Malam sudah merangkak jauh. Jam analog dinotebook ungu kesayangan saya menunjukkan pukul 22.41 Wib. Sempoyong rasanya tubuh ini karena berat di kepala dan mata saya. Kegiatan full seharian ini memaksa otak saya bekerja dengan keras. Redaksi, kegiatan, tugas kuliah yang menumpuk serta obsesi saya memenangkan ajang Moccafest menggebu-gebu dan menyita waktu saya seminggu ini.
Seminggu yang lalu, hari hampir sore. Ketika penat akibat seharian Ujian Tengah Semester dikampus  membuat kalut pikiran saya. Saya berjalan menuju Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Universitas Lampung (Unila). Tanpa  sengaja saya menemukan selembar leaflet ajang kreatifitas yang diadakan Kopi ABC berserakan di pelataran acara Mapala funclimbing di depan gedung PKM. Saya yang kebetulan adalah penggiat organisasi dibidang penerbitan tertarik mengikuti ajang ini. Setelah melihat leaflet tersebut, saya memutuskan bertanya untuk informasi lebih lanjut  dan mencicipi satu gelas kecil kopi ABC Mocca gratis di gerai Mocca yang ada di sekitar acara tersebut.
Ada empat ajang lomba yang bisa diikuti. Moccalicious, moccacraft, moccasitus dan moccapella. Pilihan saya langsung tertuju pada moccalicious dan moccasitus. Sesuai hoby saya memasak dan menulis. Jujur, alasan saya sebenarnya hanya mengetes kemampuan menulis dan hoby memasak saya. Jika menang, berarti usaha saya berhasil selama ini. Namun  jika saya kalah, bisa dipastikan masih buruk kemampuan yang saya miliki.
Dengan ramah sore itu seorang Sales Promotion Girl (SPG) di gerai Kopi ABC Mocca memberikan penjelasan kepada saya tentang syarat dan waktu perlombaan. Saya langsung mendaftar menjadi peserta lomba dan diberikan selembar leaflet lagi dengan contact person  panitia atas nama Micko.
Berwaktu-waktu saya mencari ide kreatif untuk memenangkan ajang Moccafest. Namun, karena kemampuan kreatifitas saya yang minim saya tak juga menemukan ide tulisan maupun resep kreatif yang bisa saya kirimkan untuk ajang Moccafest. Saya hampir menyerah. Namun ketika melihat leaflet yang diberikan wanita cantik tempo hari membuat tak kuasa jari-jari saya untuk menghubungi Micko via Short Massage Service (SMS). Entah untuk apa. Saya juga tidak tahu, karena yang saya tanyakan kepada Micko adalah batas waktu pengiriman karya. Jelas saya sudah tahu apa jawabannya. Karena wanita cantik SPG di gerai Kopi ABC tempo hari yang tidak saya ketahui namanya tersebut, sudah memberitahu dan saya masih mengingatnya.
Setiap orang memang memiliki cara berbeda untuk memacu semangatnya. Begitu pula saya. Dan malam itu ketika dipenghujung waktu mendekati waktu batas pengumpulan karya, saya belum menulis satupun kata di notebook saya. Begitu pula resep makanan. Saya hanya sempat membeli dua bungkus Kopi ABC Mocca di warung kecil dekat kampus saya. Hanya itu yang saya persiapkan. Padahal siang tadi, seseorang panitia menghubungi saya untuk konfirmasi fix tidaknya saya mengikuti ajang Moccafest. Saya sudah terlanjur meng-ia-kan.  Dan pantang bagi saya untuk mundur. Namun naas, saya belum juga mendapatkan secuil pun ide kreatif.
Di dalam kamar, Saya kalut. Saya sempat terbengong di depan notebook sambil mencoba menulis judul. Bingung. Satu katapun tidak bisa saya rangkai. Mata kantuk dan otak yang makin lelah membuat saya makin payah. Saya mencoba mendengarkan musik, mengeluarkan handsfree dari dalam tas dan tanpa sengaja saya melihat dua bungkus Kopi ABC Mocca yang sempat saya beli sore tadi. Belum sempat niat memutar musik saya laksanakan. Saya berjalan menuju dapur. Menghidupkan kompor, memanasi air dan menyeduh satu bungkus kopi ABC Mocca ditengah rasa kantuk dan lelah saya.
Jujur, saya memang penyuka produk ABC, seperti sambal, kecap, sampai terasi. Jika dalam bentuk minuman saya selalu memesan kopi ABC Cappucino. Saya belum pernah meminum Kopi ABC Mocca, dalam satu bungkus. Saya hanya sekali mencicipi digerai Moccafest tempo hari. Itupun saya lupa seperti apa rasanya. Mungkin karena dalam jumlah sedikit.
Tapi malam ini, saya mulai menikmati satu sendok kopi saya. Ternyata kopi ABC Mocca jauh berbeda dari segi rasa. Campuran, kopi, susu dan moka begitu pas dilidah saya. Wangi asli kopi robusta yang tertera pada komposisi membuat kantuk saya seketika hilang. Sambil menunggu kopi saya hangat, lagi-lagi saya membuka kulkas. Diam sebentar memikirkan apa yang harus saya olah ditengah malam ini dengan bahan makanan yang memang sudah ada di kulkas. Saya ambil selembar roti tawar, kulit lumpia, pisang kepok, mentega dan susu kental manis. Saya mulai membelah pisang kepok, menggorengnya sebentar di atas mentega panas sampai kekuningan.
Kemudian saya ambil kulit lumpia, dan saya taburi satu sendok serbuk Kopi ABC Mocca diatasnya. Saya tutup dengan roti tawar, dan saya taburi lagi serbuk Kopi ABC Mocca diatas roti tersebut. Saya tutup dengan sepotong pisang yang sudah saya goreng. Saya tuang susu kental manis sedikit dan saya tutup dari sisi-kesisi kulit lumpia, terakhir saya goreng dengan mentega cair panas.
Setelah makanan ala saya matang, saya kembali ke kamar. Saya mulai merangkai kata. Ditemani segelas Kopi ABC Mocca dan satu buah makanan cantik yang saya beri nama, Banana Sweet Mocca Kress. Tepat pukul 23.55 Wib, Sebuah cerita manis terangkai, saya suguhkan diatas layar notebook kesayangan saya. Mungkin tidak kreatif. Tapi, saya menulis dengan fakta. Menceritakan apa yang saya rasakan. Saya akui, saya memang payah. Sangat tidak kreatif. Namun inilah dua karya saya. Secara tidak langsung, dua bungkus Kopi ABC Mocca ini memberikan inspirasi cantik untuk saya.
Tidak peduli, apakah cerita ini diterima atau tidak. Atau mungkin terlalu panjang. Biarlah. Karena ini cerita saya, bagaimana dengan cerita kamu teman ??? J

Natar, 11 November 2011
23.59 WIB