Masyarakat
Pulau Pisang
Ditinggal
bukanTertinggal
Matahari
mulai sepenggal naik. Pagi itu, Selasa (15/5) Perahu kecil tidak bermesin atau
lazim disebut Jukung milik penduduk Pekon (kampung) Pasar mulai
berdatangan satu persatu. Menepi menuju pelabuhan tidak berbeton. Pelabuhan
tidak bernama namun begitu berarti bagi sekitar lima ratus masyarakat Pekon
Pasar Pulau Pisang Kabupaten Lampung Barat dalam menggantungkan hidupnya.
Dari
kejauhan perahu biru milik seorang nelayan berbadan gemuk mulai menepi. Susah
payah lelaki tengah baya dengan topi usang berwarna putih itu mengayuh dayung.
Melawan besarnya deburan ombak selat Pulau Pisang setinggi tiga meter. Dari
seberang pelabuhan Pekon Pasar, empat orang nelayan lain yang menunggu
di pelabuhan mulai mendekat kebibir pantai. Menanti kedatangan jukung lelaki
itu. Setelah hampir menepi, nelayan tersebut membantu menepikan jukung dengan
mengangkatnya ke pinggiran pantai.
Pagi
itu, nasib tidak berpihak pada Lukman Hakim (50). Setelah hampir 10 jam di
tengah Samudera Hindia, mengail senar, mengulurkan mata pancing di kedalaman
Samudera ikan besar tidak juga menyambar umpan ikan kecil yang dipasangnya.
Ikan Marlin atau sering disebut masyarakat ini sebagai Iwa Tukhu memang
menjadi incaran besar para nelayan. Mata kail Lukman hanya disambar ikan
tenggiri kecil berukuran tigapuluh sentimeter, jumlahnya tak lebih dari sepuluh
ekor.
Lukman
begitu kecewa, begitu pula nelayan yang membantu menarik Jukung Lukman. Mereka
berharap mendapat bagian seekor ikan hasil pancingan Lukman pagi itu. Tradisi
nelayan masyarakat Pulau Pisang memang selalu membagi ikan kepada nelayan lain
yang membantu menarik jukung. Namun, karena Lukman tidak mendapat hasil nelayan
yang banyak maka dengan berbesar hati mereka menerima.
“Mak
dapok ngebagi yu, mansa ne cutik (tidak bisa membagi ya, dapatnya
sedikit),” ujar Lukman dengan Bahasa Lampung Pesisir yang memang menjadi bahasa
sehari-hari masyarakat di Pulau ini.
Hasil
tangkapan Lukman dua ekor dibawa pulang, sisa hasil nelayannya ditimbang kepada
penampung. Beratnya tak lebih dari lima kilogram. Hasil nelayannya hanya
dibayar limabelas ribu perkilogram. Uang hasil menjual ikan tangkapannya itulah
dibawa pulang untuk menghidupi anak dan istrinya.
Berbeda
dengan Lukman, Keberuntungan sedang berpihak pada nelayan lain bernama Suntori
(40). Suntori berhasil memancing Iwa Tukhu berukuran besar. Beratnya
mencapai 45 kilogram. Suntori membawa ikan besar bersayap ungu itu kepenampung.
Menjual satu-satu nya ikan yang didapatnya dari tengah Samudera Hindia seharga
duapuluh tiga ribu rupiah perkilogram.
Kehidupan
masyarakat Pekon Pasar berbeda dengan aktifitas masyarakat Pekon Sukadana Pulau
Pisang. Jika hampir 99 persen Masyarakat Pekon Pasar bermatapencaharian sebagai
nelayan. Masyarakat Pekon Sukadana hampir keseluruhan adalah petani cengkeh,
Petani Kopra, Penenun Kain Tapis dan Benang Emas.
Seperti
halnya Nurwasih (55), Perempuan beranak lima ini mulai berbenah siang itu.
Dengan modal kantung kresek kecil, ia dan anak bungsunya Zubaidah (15) menuju
kebun cengkeh miliknya di atas bukit. Memungut seputik-demi seputik buah
cengkeh yang memang sudah jatuh ketanah. Nurwasih memang sengaja tidak memetik
buah cengkehnya dari atas pohon, karena memang buah cengkehnya belum siap
panen.
Setelah
hampir dua jam berlalu, tidak banyak hasil yang didapatnya siang itu, hanya
secanting cengkeh basah yang jika dijual seharga lima ribu rupiah. Agar
hasilnya banyak Nurwasih tidak menjual cengkehnya. Ia, akan mengumpulkan dulu
butir cengkehnya kemudian menjemur cengkehnya hingga kering selama empat hari.
Jika sudah kering baru dijual seharga seratus ribu perkilogram.
Berbeda
dengan Masyarakat lainnya, Puti (50) tengah sibuk membelah buah kelapa. Membuang
air didalamnya kemudian menjemur kelapa tersebut sampai menjadi kopra. Puti
merupakan salah satu dari sekitar duapuluh persen masyarakat pulau pisang yang
bekerja sebagai petani kopra. Buah kelapa yang diambil dari hasil kebunnya ini
kemudian di jemur selama lebih kurang empat hari dan dijual seharga 28 ribu
rupiah perkilogram.
Ibu
empat anak ini sebelum bertani kopra, dahulunya merupakan petani
cengkeh yang memang banyak berada di kawasan ini. Selain bertani
cengkeh Puti acap kali menerima upahan menyulam tapis. “Dahulunya menyulam
tapis, tapi sekarang sudah berhenti. Mata sudah tidak melihat lagi,”kenang
Puti. “Senang rasanya hidup dipulau ini meskipun sekarang mulai sepi, tapi rasa
kekeluargaannya masih melekat erat,” ujar Puti.
Peratin Pekon Sukadana Rizal (50) mengatakan,
kehidupan masyarakat pulau pisang sangat tentram. Hal tersebut yang membuat ia
memutuskan untuk tetap tinggal dipulau pisang. “Meskipun saat ini warga banyak
yang merantau, namun saya tetap menunggu pulau ini mungkin samapi akhir hayat
saya,”tutur Rizal.
Rizal juga mengatakan, ,masyarakat pulau pisang hanya
membutuhka pelabuhan dan transportasi darat. “Kami pernah meminta pemerintah
membangun jembatan yang dapat menghubungkan pulau pisang dengan desa Tembakak
Rizal mengungkapkan Pulau Pisang bukan daerah
tertinggal, tapi daerah yang ditinggalkan. Masyarakat hidup maju disini namun
sulit jika sedang angin barat karena tidak bias keluar dari pulau. “Masyarakat
Pulau Pisang banyak yang berhasil seperti Dekan Fakultas Ekonomi Unila, ia
berasal dari pulau pisang, dan masih banyak pejabat lain yang ada di Lampung,”
ujarnya.
Sejarah,
Menguatkan keberadaannya
Pulau
Pisang merupakan pulau yang berada di tengah-tengah Samudera Hindia dan masuk
dalam Kecamatan Pesisir Utara Kabupaten Lampung Barat. Untuk menuju pulau ini,
diperlukan waktu sekitar satu jam dari penyebrangan Pelabuhan Koala dikota Krui
Lampung Barat. Jukung yang digunakan sebagai transportasi
penyebranganpun hanya berlayar diwaktu tertentu saja. Namun, jika ingin cepat
masyarakat biasanya menggunakan jalur penyebrangan dari desa Tembakak. Jarak
dari desa Tembakak menuju Pulau Pisang hanya lima belas menit menggunakan
jukung bermesin.
Pulau Pisang merupakan pulau yang memiliki sejarah
peradaban yang kuat. Adat istiadat Marga Way Sindi Olok Pandan sangat kental
terasa. Rumah-rumah tinggi berdinding kayu yang lazim disebut lamban balak menjadi pemandangan paling
menarik ketika berada di pulau pisang. Meskipun keadaannya mulai rapuh karena
banyak yang tidak bepenghuni sebab ditinggal sang pemilik ketika tahun 1980
akibat matinya cengkeh-cengkeh milik mereka, menjadi saksi bisu bagaimana
masyarakat di Pulau ini menganut Marga Lampung yang kental.
Masyarakat Way Sindi yang tinggal di Olok Pandan
berjarak sekitar enam kilometer dari Desa Tembakak atau tujuh kilometer dari
kota Krui. Hj. Zafrullah Khan Gelar Suntan Simbangan Ratu mengisahkan asal kata
Way Sindi berarti pinggir air. Bermula ketika abad ke-17 masyarakat Way Sindi
semakin banyak dan menuntut perluasan daerah. Akhirnya Saibatin atau pemuka
adat Way Sindi Pangeran Simbangan Ratu mengutus seorang warga asal Biha yang
biasa disebut Bathor atau pesuruh untuk melihat keadaan Pulau yang ada
diseberang Desa Way Sindi layak tidak jika di tempati oleh masyarakat Way Sindi.
Atas titah
Saibatin tersebut berangkatlah Bathor menuju pulau dengan menggunakan batang
pisang yang memang banyak terdapat didaerah itu. Setelah sampai dipulau dan
bermalam beberapa hari kembali lah Bathor menuju Way Sindi untuk melapor kepada
Saibatin Bahwa Pulau tersebut bisa ditempati masyarakat.
Kemudian anak kedua Pangeran Sangun Ratu atas titah
sang ayah Mail Gelar Raja Pesirah gelar Pangeran Sangun Ratu mengajak seluruh
Masyarakat Way Sindi untuk berlayar menuju pulau dan mencari penghidupan
dipulau tersebut. Pada saat itu masyarakat hanya menempati gubuk besar yang
lazim disebut Sapu Balak. Masyarakat mulai bercocok tanam cengkeh dan kopra
sedangkan makan hanya dapat memakan buah pisang hutan yang memang banyak tumbuh
dipulau tersebut. Mulailah warga menyebut daerah tersebut dengan sebutan Pulau
Pisang.
Pada abad ke-18 masyarakat membentuk sebuah Pekon
pertama yaitu pekon Lok, kemudian menyusul kelima pekon lainnya yaitu Labuhan,
Bandar Dalam, Sukadana, Sukamarga dan Pekon Pasar. Pada tahun17 September 1922
akhirnya pemuka adat memutuskan bahwa Marga Way Sindi merupakan Marga resmi
masyarakat kelima Pekon Pulau Pisang dengan sebutan Way Sindi Olok Pandan
kecuali Pekon Pasar yang memang bukan berasal dari keturunan Way Sindi.
Pada Tahun 1933, berlangsunglah pertemuan besar pemuka
adat Way Sindi Olok Pandan yang menetapkan Muhammad Fadel Gelar Raja Kapitan
menjadi Saibatin pertama marga Way Sindi Olok Pandan di Pulau Pisang.
Saat itu masyarakat Way Sindi Olok Pandan hidup
makmur, cengkeh dan hasil kopra yang melimpah membuat masyarakat pulau pisang
pada tahun 1968 menjadi daerah dengan pendapatan perkapita paling tinggi di
Lampung. Namu sayang, ketika sedang jaya-jayanya. Seluruh tanaman cengkeh
tiba-tiba mati kerena daun-daunnya terkena penyakit. “saat itu perekonomian
sulit sekali, akhirnya banyak warga yang memutuskan untuk merantau,”kenang
lelaki tiga anak ini.
“Muhammad Fadel gelar Kapitan itu adalah ayah saya,
saat ini saya menjadi Saibatin Marga Way Sindi Olok Pandan,”ujar lelaki 72
tahun ini ketika ditemui di kediamannya di daerah Palapa Bandarlampung, Senin
(29/05).
“Meskipun saya sudah tidak tinggal di Pulau Pisang,
namun estetika sejarah tempat lahir saya masih melekat dihati. Peradaban marga
kami justru yang membuat kami mempertahankan kampung halaman kami disana dengan
menanam cengkeh kembali,”ujarnya.
Tenun Tapis dan Benang emas tak lekang tergerus zaman
Sore itu, matahari
senja mulai terbenam. Anak-anak kecil
berumur lima sampai sepuluh tahun tengah asik berlari-lari dipinggiran pantai
berbuih dan berpasir putih bersih. Bermain-main bersama deburan ombak sambil
melompat-lompat kegirangan menghalau hempasan ombak. Tidak jauh dari situ, para
nelayan masyarakat Pekon Pasar mulai berdatangan menuju pelabuhan. Membawa
hasil laut setelah berjam-jam berlayar ditengah samudera.
Selain pantainya yang indah,
serta aktifitas nelayan yang menarik. Sulam Tapis dan benang emas menjadi
identitas tersendiri masyarakat pulau pisang. Kain Tapis mulai resmi digunakan
oleh masyarakat pualu pisang sejak abad-19. Sejak itu kain tapis menjadi kain
resmi yang harus digunakan masyarakat pulau pisang dalam berbagai prosesi adat
lampung. Prosesi ighau pada tahun
1835 menjadi prosesi adat resmi yang mengukuhkan tapis sebagai ciri khas
masyarakat pulau pisang.
Senja itu Riswen (40) Wanita
berambut pendek dengan gaya sedikit tomboy mulai mengisi waktu senja hari
dengan menenun Tapis. Kali ini Riswen sedang mengerjakan upah menenun kain
tapis motif Latap. Motif ini merupakan jenis kain tapis dengan tenunan penuh.
Sudah dua bulan Riswen mengerjakan sulaman tapis milik tetangganya ini.
Ditengah-tengah waktu
senggangnya, Riswen selalu menyempatkan memasang Remidang yang terbuat dari kayu dan bambu untuk merenggang kain
agar dapat diikat kencang, menjahit kain
perca pada bahan dasar tapis Sanguwos dan
merekatkannya di ujung-ujung bambu menggunakan tali plastik agar kuat. Setelah
kain kencang Riswen mulai membentuk pola sesak
mutagh dengan pensil agar mudah di tenun.
Setelah pola jadi, Riswen
mulai menenun. Merangkai benang emas dan benang jahit hingga mmembentuk pola
yang indah. “Butuh waktu sekitar duabulan yang paling cepat untuk pengerjaan
tapis motif Latap. Upah menenunnya
saja satu juta limaratus, itu diluar bahan-bahan,” ujar wanita bermata sipit
ini.
Riswen mengaku sudah sejak
kecil fasih menenun tapis. Ketika duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama ia
mulai menerima upahan menenun tapis. “Dahulu upahnya hanya tigaratus ribu,
sekarang minimal satu juta,”ungkap wanita beranak empat ini.
Begitupula dengan Suharjo
(31) lelaki berbadan kurus ini selain menjadi guru honor di SD Pulau Pisang
juga tengah sibuk mengerjakan upahan menenun kain tapis. Dibawah temaramnya
lampu listrik yang mengalir dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya yang memang
hanya ada di pulau ini, jari-jemarinya tetap gapah menjahit benang emas.
Suharjo memang terkenal rapih dalam menenun kain tapis. Meskipun laki-laki ia
paling sering mendapat upahan menenun dari kota.
Suharjo sudah tertarik
menenun sejak ia masih berumur sembilan tahun. Ia sangat senang melihat kakak
wanitanya menenun kain tapis. Ketika itu ia mulai memperhatikan kakaknya
menenun dan mulai mencoba menenun. Saat ini ia mulai fasih mengerjakan berbagai
macam bentuk tenunan tapis, dari mulai motif tusuk pinggir, rumpun bambu hingga
motif tumpal penuh yang biasa digunakan oleh pengantin adat lampung.
“Saya kuliah biayanya dari
menyulam tapis, hingga sekarang lulus Diploma 3 Jurusan Bahasa Inggris,”ujar
Suharjo.
“Saya tidak pernah merasa
malu menyulam tapis, meskipun laki-laki selagi halal dan bisa menghasilkan uang
kenapa tidak,”ujar lelaki yang memiliki seorang istri dan anak yang baru
berumur tiga tahun ini.
Selain tapis, yang menjadi
ciri khas dari masyarakat pulau pisang adalah Sulam Benang Emas. Hampir seluruh
masyarakat pulau pisang mahir menyulam Benang Emas, menjahit kain Beludru
dengan Sulaman Benang Emas menjadi kelambu, Khangok
atau tutup pintu dan macam-macam hiasan singgasana pengantin.
Seperti yang sedang
dikerjakan Sriyani (29). Wanita ini tengah sibuk menyulam kain Beludru sebagai khangok pesanan seorang warga. Sriyani
sudah pandai menyulam sejak ia masih sekolah dasar.
“Biasanya diupah pergulungan
benang, setiap gulung benang yang habis dibayar sembilan ribu rupiah,”ujarnya.
Proses pengerjaannya hampir
sama dengan tapis yang membedakan hanyalah jenis benang emas yang digunakan.
Biasanya benang emas yang digunakan untuk menenun benang emas lebih tebal.
“Polanya beragam, dari pola daun, batang, bunga hingga binatang,”ujar wanita
cantik ini.
“Untuk tutup pintu saja,
saya mengerjakan sekitar lima belas hari dan diupah seharga tigaratus ribu
rupiah,” ungkapnya dengan bahasa lampung pesisir.
“Kain Tapis dan sulam benang
emas menjadi identitas resmi masyarakat pulau pisang, kami memiliki motif dan
model jahitan tertentu yang menjadi ciri khas kuat masyarakat pulau,”ujar
Sriyani.
...............
Masyarakat Pulau Pisang kini
mulai menikmati kembali kejayaan dari hasil bumi berupa cengkeh dan kopra.
Musim panen yang akan tiba dua bulan lagi, menjadi harapan besar masyarakat
pulau ini untuk merubah nasibnya. Pesona pulau pisang pun mulai dilirik oleh
wisatawan mancanegara. Pantai yang bersih dengan ombak setinggi 3-7 meter
menjadi daya tarik tersendiri para wisatawan mancanegara. Selain itu, Eksotisme
lumba-lumba pula menjadi buruan hangat para wisatawan.
Salah satu masyarakat pulau
pisang Suharjo (50) mengatakan senang jika pulau pisang menjadi salah satu
tempat referensi pariwisata di Lampung “Kami senang banyak wisatawan yang
datang, apalagi jika mereka menyewa jukung untuk berburu lumba-lumba. Sekali
sewa kami dibayar tiga ratus ribu rupiah,” ujarnya.
Suharjo mengharapkan
pemerintah memperhatikan fasilitas yang tersedia di pulau ini. “Jika ingin
dijadikan tempat wisata, fasilitas harus benar-benar diperbaiki.”ungkapnya. *